Abuya Syekh Haji Muhammad Waly al-Khalidy; Syekhul Masyayikh Ulama Dayah Aceh Kontemporer.
Teungku
Muhammad Waly adalah nama kecilnya, namun setelah menjadi alim besar,
masyarakat Aceh lebih mengenalnya dengan panggilan Abuya atau Syekh Haji Muda
Waly. Kehadiran Syekh Muda Waly dalam perkembangan keilmuan Islam di Aceh
memiliki arti yang penting, karena hampir seluruh ulama Aceh pada era
sesudahnya berada pada jejaring murid, atau murid dari murid Abuya.
Mengawali
pengembaraan intelektualnya, Syekh Muda Waly belajar pada beberapa orang ulama
kharismatik, di antaranya:Syekh Haji Salim bin Malin Palito yang merupakan ayah
Abuya sendiri, kemudian melanjutkan kepada Teungku Syekh Ali Lampisang atau
dikenal dengan Abu Lampisang, ulama yang berasal dari lampisang Aceh Besar.
Setelah empat tahun belajar di Madrasah al Khairiah yang dipimpin oleh Abu
Lampisang, Syekh Muda Waly melanjutkan pengembaraannya ke Abdya tepatnya di
Blangpidie.
Abuya
belajar langsung dengan ulama yang berasal dari Lamlhom yaitu Syekh Teuku
Mahmud atau dikenal dengan sebutan Abu Syekh Mud Blangpidie. Dalam masa yang
relatif singkat Syekh Muda Waly telah mengkhatamkan kitab-kitab besar dalam
Mazhab Imam Syafi'i. Di Blangpidie, telah nampak kealiman Syekh Muda Waly,
dimana setiap pengajian gurunya dikaji secara tahqiq dan tadqiq, di antara
teman akrab Syekh Muda Waly ketika belajar adalah Teungku Muhammad Salim, Abu
Adnan Bakongan dan Syekh Bilal Yatim Suak. Maka sangat layak bila ia digelar
dengan Angku Mudo artinya seorang yang alim semenjak usia belia.
Setelah
menyelesaikan pendidikan di Blangpidie, Syekh Muda Waly mengembara ke Aceh
Besar, tepatnya di Kruengkalee, beliau belajar danberkenalan dengan ulama
kharismatik Aceh yaitu Teungku Haji Hasan Kruengkalee atau Abu Kruengkalee.
Teungku Syekh Hasan Kruengkalee merupakan ulama berpengaruh pada era sebelum
Syekh Muda Waly, bahkan Abu Ali Lampisang dan Abu Syekh Mud Blangpidie
merupakan orang kepercayaan Abu Kruengkalee yang merupakan guru utama Abuya
Muda Waly, mereka diutus atas rekomendasi Tuanku Raja Keumala residen Aceh
sepengetahuan Abu Kruengkalee.
Tidak
lama berada di Kruengkalee hanya beberapa jam, beliau kemudian melanjutkan ke
Indrapuri Aceh Besar, tepatnya kepada ulama ahli Al Qur'an Teungku Syekh
Hasballah Indrapuri yang dikenal dengan Abu Indrapuri, saudara dari Abu Lam U
anak dari Abu Chik Umar Di Yan atau Abu Chik di Lam U yang merupakan teman dari
Teungku Chik Muhammad Arsyad yang juga guru dari Abu Kruengkalee. Di pesantren
ini Abuya diminta menjadi guru bantu, karena Abuya telah menjadi ulama muda
yang diperhitungkan.
Kehausan
Syekh Muda Waly terhadap ilmu mendorongnya untuk mengembara ke kampung
moyangnya Sumatera Barat. Di sana ia belajar selama beberapa bulan kepada Prof
Mahmud Yunus/Ustadz Mahmud Yunus yang baru kembali dari Darul Ulum Kairo Mesir.
Kemudian, Syekh Muda Waly belajar di Surau Jaho, langsung kepada pendirinya
Syekh Jamil Jaho murid dari Syekh Ahmad Khatib Minabkabau yang masyhur itu.
Karena kealiman dan keshalihannya, banyak ulama yang terpikat mengambilnya
sebagai menantu, di antaranya Syekh Jamil Jaho yang menikahkan dengan anaknya
dan Syekh Khatib Ali dengan cucunya.
Walaupun
telah menikah, semangat menuntut ilmu tidak pernah pudar dari dirinya, sehingga
atas inisiatif para ulama dan ninik mamak di Padang, beliau diantarkan bersama
Isterinya Ummi Rabi'ah untuk menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat ke
Mekkah, Abuya suluk Tarekat Naqsyabandiyah kepada Syekh Abdul Ghani Kampari
yang berasal dari Riau. Waktu enam bulan di Mekkah dipergunakan dengan baik,
sehingga bertemulah Syekh Muda Waly dengan Syekh Muhammad Yasin al-Padani
ketika mengaji Kitab Asybah Wan Nadhair karya Imam Jalaluddin Suyuthi
kepada Syekh Ali bin Husen al Maliki, salah satu ulama tersohor di Mesjidil
Haram pada masanya, dan pentahkik kitab tersebut.
Setelah
menerima ijazah dari Syekh Ali Maliki, ada keinginan Syekh Muda Waly untuk
berkunjung ke Mesir, namun niat tersebut beliau urungkan. Kiprah keulamaan
Syekh Muda Waly makin bersinar ketika beliau mendirikan Dayah Pesantren
Darussalam di Labuhan Haji Aceh Selatan, di mana pesantren tersebut telah mengkader
ratusan ulama yang berkiprah dan mengayomi masyarakat.
Banyak
ulama dan ilmuan Islam lahir dari rahim pesantren tersebut. Umumnya mereka
telah meninggal, dengan meninggalkan banyak murid yang meneruskan estafet
perjuangan mereka. Sebut saja yang telah wafat misalnya; Syekh Aidarus bin
Syekh Abdul Ghani Kampari, Abu Yusuf 'Alami menantu Abuya, Syekh Marhaban
Kruengkalee anak dari Abu Kruengkalee, Syekh Zakaria Malalo/Abuya Labaisati,
Abu Adnan Bakongan, Abu Tanoh Mirah, Abon Samalanga, Abuya Muhibbuddin Waly,
Abu Keumala, Abu Jailani Pedada, Abu Ja'far Siddiq, Abu Ahmad Isa Pedada, Abu
Kamaruddin Teunom, Syekh Hasan Abati Lamno, Abu Imam Syamsuddin Sangkalan, Abu
Muhammad Zamzami, Abu Usman Basyah Sungai Pauh, Abu Tu Min Blang Blahdeh, Abu
Hanafi Matangkeh, Abu Daud dan masih banyak ulama lainya yang menimba ilmu dari
beliau.Sedangkan menurut temannya Prof Teungku Ali Hasjmi, Syekh Muda Waly
sukses mengantarkan anak-anaknya menjadi para ulama seperti; Abuya Prof
Muhibbuddin Waly, Abuya Mawardi Waly, Abuya Jamaluddin Waly, Abuya Syech Amran
Waly, Abuya Nasir Waly, Abuya Ruslan Waly, dan lain-lain.
Mendekati usia 40 tahun beliau membuat tempat khusus untuk menulis, namun ajal telah menjemputnya lebih awal, kecuali hanya beberapa buku kecil yang sempat beliau tulis seperti al Fatawi yang disusun kembali oleh muridnya Abu Basyah Long dan telah dialihbahasan oleh salah satu cucunya, Keputusan I'tiqad Ahlussunnah waljama'ah, Tanwirul Anwar fi Idhar Ma Khalal fi Kasyfil Asrar, Hasyiah Tuhfah yang tidak beredar, dan beberapa lainnya.Beliau ulama yang bertuah, karena setiap orang yang berguru kepadanya akan memiliki posisi terhormat dalam masyarakat, hal ini mungkin karena keshalihan dan keberkahan doanya.
Komentar
Posting Komentar