Teungku Syeikh Haji Hasan Kruengkalee; Syekhul Masyayikh Ulama Aceh Periode Awal.
Dalam suasana berkecamuknya Perang
Aceh, lahirlah seorang anak yang diberi nama Muhammad Hasan di pengungsian
Meunasah Ketembu Langgoe Pidie pada tahun 1886. Teungku Muhammad Hasan kemudian
setelah alim besar dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Abu Kruengkalee
atau Teungku Syekh Haji Hasan Kruengkalee. Setelah peperangan mereda, Teungku Muhammad Hasan dibawa
pulang ke kampung halamannya di Kruengkalee kemungkiman Siem Aceh Besar.
Mengawali awal pendidikannya,
Teungku Muhammad Hasan Kruengkalee berguru langsung kepada ayahnya yang juga
seorang ulama bernama Teungku Muhammad Hanafiah bin Teungku Syekh Abbas yang
dikenal dengan sebutan Teungku Haji Muda Kruengkalee karib dari Teungku Chik Di
Tiro dan Teungku Chik Ahmad Buengcala. Ayah dan Kakek dari Teungku Hasan
Kruengkalee tujuh generasi keatas semuanya ulama dan pengawal agama di
wilayahnya. Selain belajar dari ayahnya, Teungku Muhammad Hasan Kruengkalee
juga belajar di Dayah Teungku Chik di Keubok masih dalam kawasan kemungkiman
Siem Aceh Besar.
Setelah menjadi seorang alim,
Teungku Hasan Kruengkalee merasa ilmunya masih minim dan belum memadai,
sehingga beliau berangkat ke Kampung Yan Keudah Malaysia dan belajar kepada
seorang ulama Pendiri Madrasah Irsyadiah yaitu Teungku Chik Muhammad Arsyad Ie
Leubee, beliau termasuk ulama Aceh yang hijrah ke Malaysia untuk membentuk
jaringan ulama baru ketika Aceh sedang bergolak bersama temannya Teungku Chik
Oemar Diyan yang merupakan ayah dari Abu Indrapuri dan Abu Lam U. Setelah
beberapa tahun mengaji di Yan Kedah Malaysia, pada tahun 1909 Teungku Hasan
Kruengkalee berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmunya. Beliau berangkat
dengan adiknya yang kemudian adiknya meninggal di Mekkah. Adapun yang
membiayainya adalah pamannya yang hartawan dan dermawan. Karena semenjak kecil
Teungku Hasan Kruengkalee telah menjadi yatim dan diasuh oleh ibunya.
Berkat kesungguhan dan semangat
belajar yang tinggi, telah mengantarkan Teungku Hasan Kruengkalee menjadi ulama
muda yang mendalam ilmunya. Berbagai cabang ilmu dikuasai oleh Teungku Syekh
Hasan Kruengkalee, bahkan beliau juga memperdalam ilmu falak kepada seorang
pensiunan Jenderal Turki sehingga disebut dengan al Falaki diujung namanya yang
dimaksudkan sebagai seorang ulama yang ahli dalam ilmu Falak. Beliau juga seorang
Mursyid Haddadiyah Aceh, sehingga hampir semua jalur Haddadiyah melewati
Teungku Syekh Hasan Kruengkalee sebagaimana yang dituangkan dalam Karyanya
Risalah Latifah.
Teungku Syekh Hasan Kruengkalee
berguru kepada banyak para ulama Kota Mekkah di antaranya: Syekh Ahmad bin Abu
Bakar Syatta anaknya Pengarang Kitab I'anatuththalibin ulasan tuntas untuk
Kitab Fathul Mu'in karya Syekh Zainuddin Malibari, Syekh Hasan Zamzami yang
mengijazahkan beliau Tarekat Haddadiyah, Syekh Yusuf Nabhani Pengarang banyak Kitab
tentang Nabi Besar Muhammad Saw., Syekh Said Yamani yang merupakan guru dari
banyak ulama Jawa termasuk Hadhratussyaikh Hasyim Asy'ari dan Kiyai Abdul Wahab
Chasbullah dan banyak ulama Mekkah lainnya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya
di Mekkah beliau pulang ke Yan Kedah Malaysia untuk membantu gurunya Teungku
Chik Muhammad Arsyad di Yan dalam mengajar dan beliau pun mengakhiri masa
lajangnya menikah di Yan dengan Tgk Nyak Shafiah seorang gadis yatim yang
dibantu oleh keluarga Teungku Chik Oemar Diyan. Namun tidak lama di Kedah,
beliau diminta oleh pamannya Pimpinan Dayah Meunasah Baro untuk pulang ke Siem
agar membantu beliau sebagai guru di Dayah tersebut. Setelah mengajar beberapa
lama, Abu Kruengkalee kemudian mendirikan sebuah 'Dayah Manyang/Pesantren
Tinggi' di Siem Kruengkalee sekitar tahun 1916. Dan di antara murid-muridnya
diawal pembukaan Pesantren tersebut adalah Teungku Syekh T Mahmud bin T. Ahmad
Lhoknga yang dikenal dengan Abu Syech Mud Blangpidie yang merupakan guru utama
Abuya Syekh Muda Waly.
Selain Abu Syech Mud, pengajar di
dayah tersebut adalah Teungku Syekh Muhammad Ali Lampisang yang merupakan adik
sepupunya yang juga menjadi guru utama Syekh Muda Waly ketika belajar di
Jami'atul Khairiah Labuhan Haji. Kedua ulama tersebut; Abu Syech Mud dan Abu
Ali Lampisang kemudian dikirim untuk menjadi guru masyarakat Aceh Selatan yang
ditempatkan di Blangpidie dan Labuhan Haji atas persetujuan Abu Kruengkalee dan
Pemimpin Aceh Tuanku Raja Keumala.
Selain dua ulama besar tersebut,
belajar juga di Dayah Abu Kruengkalee banyak ulama dan Tokoh-tokoh Aceh pada
era berikutnya seperti: Teungku Syekh Muda Waly, Abu Abdullah Ujong Rimba Ketua
MPU Aceh, Abu Sulaiman Lhoksukon, Abu M. Yusuf Kruet Lintang, Abu Ishaq Ulee
Titi, Abu Abdul Wahab Seulimum, Abu M. Saleh Aron menantu beliau, Abu Mahmud
Syah Blang Blahdeh ayahnya Abu Tu Min, Teungku Letkol Nurdin Bupati Aceh Timur,
Teungku Syekh Marhaban Kruengkalee anak beliau, Abu Adnan Mahmud Bakongan, Abu
Idris Lamnyong Ayah Profesor Safwan Idris, Teungku Syekh Bilal Yatim al
Khalidy, Teungku Mahmud Usman Simpang Ulim dan lain-lain.
Bahkan Profesor Hasbi Siddiqie juga
disebut pernah belajar beberapa bulan kepada Abu Kruengkalee secara khusus.
Sehingga tidak mengherankan bila tokoh sekaliber Teungku Muhammad Daud Bereueh
menganggap Abu Kruengkalee juga sebagai gurunya. Karena Teungku Muhammad Daud
Bereueh merupakan murid dari Abu Chik Hasballah Meunasah Kumbang Kakeknya
Teungku Ahmad Dewi dan murid dari Teungku Chik Pantee Geulima. Juga ulama dari
Padang Kiyai Siradjuddin Abbas penulis Buku Empat Puluh Masalah Agama
menyatakan dirinya sebagai murid dari Abu Hasan Kruengkalee.
Dari sini nampak kiprah Abu
Kruengkalee memiliki arti yang sangat penting di mana hampir seluruh ulama Aceh
pada eranya berada pada jejaring guru, sahabat, murid dalam trah keilmuan ulama
Aceh. Sebagai seorang ulama besar, dedikasi Abu Kruengkalee memiliki makna yang
signifikan. Beliau berguru kepada Anak Pengarang Kitab I'anatuththalibin yang
memiliki sanad dari ayahnya Syekh Sayyid Bakhri Syatta hingga ke Imam Muhammad
bin Idris As-Syafi'i.
Abu Kruengkalee juga bersahabat
dengan Abu Indrapuri yang kepada ayahnya Teungku Chik Umar beliau pernah
belajar ketika Di Yan selain dari guru besarnya Teungku Chik Arsyad di Yan.
Sedangkan Abu Syech Mud dan Abu Ali Lampisang dua muridnya merupakan guru utama
Abuya Syekh Muda Waly yang merupakan tokoh kunci dayah di era sesudahnya,
karena hampir semua Dayah Aceh hari ini berada pada jejaring murid Teungku
Syekh Muhammad Waly al-Khalidy.
Sedangkan dalam areal politik dan
kebijakan umum, Abu Kruengkalee merupakan salah satu tokoh yang menggelorakan
semangat jihad mempertahankan Indonesia di tahun 1945 dengan seruan jihad yang
ditanda-tangani oleh Abu Kruengkalee, Abu Ahmad Hasballah Indrapuri, Abu Chik Muhammad
Jakfar Lamjabat, Abu Daud Bereueh dan Residen Aceh Teuku Nyak Arif Lam Nyoeng
yang kemudian menjadi Pahlawan Nasional.
Abu Kruengkalee senantiasa menjaga
netralitas dengan seluruh kelompok, beliau tidak ikut PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh) namun beliau dekat dengan Teungku Daud Beureueh dan Teungku Haji
Ahmad Hasballah Indrapuri yang keduanya merupakan tokoh PUSA. Abu Kruengkalee
juga tokoh yang berusaha mendamaikan kisruh Ulee Balang Teuku Daud Cumbok dan
kalangan PUSA. Beliau juga tokoh yang tidak terlibat dalam konflik DI TII dan
tidak ikut naik gunung. Walaupun demikian, beliau ulama yang lantang menentang
paham komunis dan aliran-aliran sesat lainnya.
Pada tahun 1959 beliau dan Abuya
Muda Waly beserta seluruh ulama Indonesia diundang Presiden Soekarno ke Cipanas
untuk membahas kedudukan Presiden Soekarno dalam pandangan Islam, maka Abuya
Muda Waly setelah mengkaji berbagai referensi ilmiah menegaskan bahwa Presiden
Soekarno merupakan seorang Waliyul Amri Dharuri Bil Syaukah, dan pandangan Abuya
tersebut didukung sepenuhnya oleh Abu Kruengkalee. Abu Kruengkalee menurut
pernyataan anaknya Teungku Syekh Marhaban Kruengkalee, telah mengkhatamkan
puluhan kali belajar dan mengajar Kitab Mahalli dan Kitab I'anatuththalibin,
sebagaimana ditulis oleh para penulis autobiografi beliau yaitu Tgk Mutiara
Fahmi, Tgk Qusaiyen dan Tgk Muhammad Faisal.
Menurut para ulama Aceh, Abu Hasan Kruengkalee adalah seorang ulama besar yang Arif Billah, beliau banyak membaca tanda-tanda zaman dan memiliki ketajaman pandangan hati yang disebut dengan 'firasat mukmin'. Setelah pengabdian yang panjang dan kontribusi yang besar untuk ummat Islam di Aceh secara khusus dan Indonesia secara menyeluruh, maka wafatlah ulama besar dan guru ummat tersebut pada malam Jum'at di Tahun 1973.
Komentar
Posting Komentar