Foto saya
Dr. Nurkhalis Mukhtar, LC., MA
Banda Aceh, Aceh
Ketua STAI Al-Washliyah Banda Aceh - Penulis Buku MEMBUMIKAN FATWA ULAMA

Abu Cot Kuta; Ulama Aceh dan Pendiri Dayah Periode Awal.

 


Masyarakat Cot Trueng dan sekitarnya mengenal beliau dengan laqab Abu Cot Kuta. Nama asli beliau adalah Teungku Abu Bakar bin T. Muhammad Ali. Lahir dari dari keluarga sederhana tidak pernah menyurutkan langkah beliau dalam menimba ilmu pengetahuan. Mengawali pendidikannya, Teungku Abu Bakar Cot Kuta belajar langsung pada ayahnya yang juga seorang yang memahami agama.

Selain belajar pada ayahnya, beliau bersekolah di SR, namun ada yang unik dari beliau yaitu masa belajarnya setengah dari yang lain. Karena kecerdasan Teungku Abu Bakar Cot Kuta hanya bersekolah enam bulan dalam setiap tahunnya, karena cepatnya beliau memahami setiap bahan yang diajarkan. Selesai SR dalam waktu yang singkat, Abu Cot Kuta memulai pendalaman agamanya pada salah seorang ulama dan pendiri Dayah yang dikenal dengan Abu Ibrahim Puloe Reudeup.

Disebutkan lama beliau berguru kepada Teungku Ibrahim tersebut sampai beliau menjadi seorang yang alim dan mendalam ilmunya. Setelah menjadi seorang Teungku, Abu Cot Kuta kemudian menikah dan tidak lama setelah menikah isteri yang beliau cintai meninggal dan memiliki seorang anak yang dititip ke adek beliau Cut Hawiyah.

Selain seorang yang cerdas, Abu Cot Kuta juga memiliki bakat dan suara yang bagus, sehingga beliau didaulat sebagai syekh meusekat, namun hal ini kurang berkenan pada diri ayahnya Teuku Muhammad Ali, sehingga atas inisiatif ayahnya Abu Cot Kuta dianjurkan untuk memperdalam kembali ilmunya kepada seorang ulama terpandang di daerah Tanjungan yaitu kepada Abu Idris Tanjungan.

Pada tahun 1931 berangkatlah beliau ke Tanjungan untuk belajar langsung ke ulama besar Tanjungan itu. Abu Cot Kuta waktu itu berusia sekitar 35 tahun karena beliau diperkirakan lahir tahun 1896 sebaya dengan Teungku Muhammad Daud Bereueh. Saat belajar dengan Abu Idris Tanjungan yang merupakan ayah dari ulama yang dikenal dengan Ayah Hamid atau Teungku Abdul Hamid Tanjungan seorang tokoh yang melakukan pembaharuan dalam pendidikan. Pada masa itu Abu Idris Tanjungan telah mulai sepuh, sehingga Teungku Abu Bakar Cot Kuta membaca sendiri Kitab-Kitab besar, sedangkan Abu Idris Tanjungan menyimaknya dari pembaringan beliau. Di Tanjungan pula Teungku Abu Bakar Cot Kuta sudah ditunjuk menjadi Teungku Rangkang, asisten dari Abu Idris Tanjungan.

Berkat kesungguhan dan kesabaran dalam belajar dengan kecerdasan yang dimilikinya, telah mengantarkan Teungku Abu Bakar menjadi seorang ulama yang diperhitungkan ketika itu. Setelah selesai belajar dari gurunya, Abu Cota Kuta kemudian menikah dengan seorang gadis yang bernama Cut Saudah binti Sabi dan melahirkan beberapa anak laki-laki dan perempuan, di antaranya ada yang bernama Cut Habsyah yang kemudian menikah dengan Teungku Muhammad Daud yang kemudian melahirkan seorang ulama Aceh lainnya yang melanjutkan keilmuan dan keulamaan Abu Cot Kuta yaitu Teungku Muhammad Amin Daud yang dikenal dengan Ayah Min Cot Trueng Pimpinan Raudhatul Ma’arif Cot Trueng. Pada tahun 1934 di daerah Krueng Manee, Ampon Lutan dan Ampon Ubit yang merupakan Ulee Balang di Krueng Manee sedang mencari seorang ulama untuk dijadikan sebagai Qadhi kawasan Krueng Manee.

Awalnya mereka ingin menunjuk seorang ulama lainnya, yang juga murid Abu Idris Tanjungan yang telah membuka lembaga pendidikan di wilayah Cot Seurani. Ada kekhawatiran pada Ampon Lutan bahwa pemikiran ulama Cot Seurani tersebut tidak sesuai dengan masyarakat Krueng Manee secara umum, sehingga dibuatlah semacam Mubahasah antara Teungku Abu Bakar Cot Kuta dengan ulama yang bersangkutan. Setelah penetapan hari H, dan panitia telah menyiapkan tempat dan semuanya, masyarakat juga telah berhadir untuk menyaksikannya, maka yang bersangkutan tidak jadi berhadir, maka qadhi di daerah Krueng Manee diangkatlah Teungku Abu Bakar yang kemudian dikenal dengan Abu Cot Kuta.

Setelah ditunjuk menjadi pemimpin agama di Krueng Manee, Abu Cot Kuta kemudian mendirikan sebuah Dayah yang kemudian termasuk Dayah yang diperhitungkan besar pada masa itu, sebagaimana yang ditulis dalam buku Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia karya Prof Mahmud Yunus. Dimana Prof Mahmud Yunus menulis beberapa dayah di Aceh yang mula-mula berdiri selain Dayah Abu Hasan Kruengkalee juga dayah lainnya termasuk dayah Abu Cot Kuta. Walaupun pada tahun-tahun tersebut telah ada dayah lainnya misalnya Abu Syech Mud di Blangpidie yang dibangun tahun 1928 dan Abu Ali Lampisang di tahun 1924 dengan Jam’iyatul Khairiyahnya, dan banyak dayah lainnya.

Perkembangan Dayah Abu Cot Kuta terus meningkat dari-hari ke hari. Tapi dua belas tahun setelahnya terjadi Perang Cumbok, sehingga banyak para ulee balang yang meninggal dalam perang tersebut, termasuk Ampon Lutan dan Ampon Ubit yang merupakan Ulee Balang Krueng Manee. Karena semenjak berdirinya dayah tersebut pendanaannya banyak di bantu oleh kedua ulee balang tersebut. Mengingat kondisi yang makin melemah dan hilangnya orang yang selama ini menopang dayah, maka Abu Cot Kuta berinisiatif untuk pulang ke kampung aslinya di Cot Kuta, namun sebelum niat tersebut terlaksana, salah seorang ulama dan Pimpinan Dayah Nasrul Muta’alimin meminta masyarakat setempat untuk menempatkan Abu Cot Kuta di Cot Trueng agar mengayomi masyarakat Cot Trueng.

Maka berpindahlah Abu Cot Kuta ke tempat yang baru di Cot Trueng, sehingga mulailah proses belajar-mengajar dan mulai pula berdatangan santri ke tempat tersebut yang dinamakan Dayah Raudhatul Ma’arif. Banyak para santrinya kemudian yang menjadi para ulama seperti di Dayah Krueng Manee dahulunya. Sebut saja beberapa di antara murid Abu Cot Kuta adalah: Abu Sulaiman Lhoksukon, Abi Syafi’i Aron dan Teungku Muhammad Isa Peurepok yang ketiganya adalah ulama Kharismatik Aceh, serta para santri lainnya. Selain sebagai ulama dan pimpinan dayah Raudhatul Ma’arif, Abu Cot Kuta juga aktif termasuk tokoh Perti di wilayahnya, terhitung mulai tahun 1957 Abu Cot Kuta bergabung dengan Perti semenjak diserukan oleh Abu Kruengkalee agar para ulama dayah hendaknya bergabung dengan organisasi Ahlussunnah Waljama’ah tersebut.

Setelah pengabdian yang panjang untuk masyarakatnya, di tahun 1969 wafatlah Abu Cot Kuta. Dan Dayah Raudhatul Ma’arif yang dibangunnya dahulu telah berkembang begitu pesat dimana santrinya mencapai dua ribuan dari seluruh Aceh. Dayah yang besar ini dipimpin oleh seorang ulama Aceh yang dikenal dengan Ayah Min di Cot Trueng atau Abu Cot Trueng Teungku Muhammada Amin Daud yang merupakan salah satu cucu dari Abu Cot Kuta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Penulis

Abu Hasballah Indrapuri; Ulama Ahli Al-Qur’an dan Pendiri Madrasah Hasbiyah Indrapuri.