Abu Cot Kuta; Ulama Aceh dan Pendiri Dayah Periode Awal.
Masyarakat Cot Trueng dan sekitarnya
mengenal beliau dengan laqab Abu Cot Kuta. Nama asli beliau adalah Teungku Abu
Bakar bin T. Muhammad Ali. Lahir dari dari keluarga sederhana tidak pernah
menyurutkan langkah beliau dalam menimba ilmu pengetahuan. Mengawali
pendidikannya, Teungku Abu Bakar Cot Kuta belajar langsung pada ayahnya yang
juga seorang yang memahami agama.
Selain belajar pada ayahnya, beliau
bersekolah di SR, namun ada yang unik dari beliau yaitu masa belajarnya
setengah dari yang lain. Karena kecerdasan Teungku Abu Bakar Cot Kuta hanya
bersekolah enam bulan dalam setiap tahunnya, karena cepatnya beliau memahami
setiap bahan yang diajarkan. Selesai SR dalam waktu yang singkat, Abu Cot Kuta
memulai pendalaman agamanya pada salah seorang ulama dan pendiri Dayah yang
dikenal dengan Abu Ibrahim Puloe Reudeup.
Disebutkan lama beliau berguru
kepada Teungku Ibrahim tersebut sampai beliau menjadi seorang yang alim dan
mendalam ilmunya. Setelah menjadi seorang Teungku, Abu Cot Kuta kemudian
menikah dan tidak lama setelah menikah isteri yang beliau cintai meninggal dan
memiliki seorang anak yang dititip ke adek beliau Cut Hawiyah.
Selain seorang yang cerdas, Abu Cot
Kuta juga memiliki bakat dan suara yang bagus, sehingga beliau didaulat sebagai
syekh meusekat, namun hal ini kurang berkenan pada diri ayahnya Teuku Muhammad
Ali, sehingga atas inisiatif ayahnya Abu Cot Kuta dianjurkan untuk memperdalam
kembali ilmunya kepada seorang ulama terpandang di daerah Tanjungan yaitu
kepada Abu Idris Tanjungan.
Pada tahun 1931 berangkatlah beliau
ke Tanjungan untuk belajar langsung ke ulama besar Tanjungan itu. Abu Cot Kuta
waktu itu berusia sekitar 35 tahun karena beliau diperkirakan lahir tahun 1896
sebaya dengan Teungku Muhammad Daud Bereueh. Saat belajar dengan Abu Idris
Tanjungan yang merupakan ayah dari ulama yang dikenal dengan Ayah Hamid atau
Teungku Abdul Hamid Tanjungan seorang tokoh yang melakukan pembaharuan dalam
pendidikan. Pada masa itu Abu Idris Tanjungan telah mulai sepuh, sehingga
Teungku Abu Bakar Cot Kuta membaca sendiri Kitab-Kitab besar, sedangkan Abu
Idris Tanjungan menyimaknya dari pembaringan beliau. Di Tanjungan pula Teungku
Abu Bakar Cot Kuta sudah ditunjuk menjadi Teungku Rangkang, asisten dari Abu
Idris Tanjungan.
Berkat kesungguhan dan kesabaran
dalam belajar dengan kecerdasan yang dimilikinya, telah mengantarkan Teungku
Abu Bakar menjadi seorang ulama yang diperhitungkan ketika itu. Setelah selesai
belajar dari gurunya, Abu Cota Kuta kemudian menikah dengan seorang gadis yang
bernama Cut Saudah binti Sabi dan melahirkan beberapa anak laki-laki dan
perempuan, di antaranya ada yang bernama Cut Habsyah yang kemudian menikah
dengan Teungku Muhammad Daud yang kemudian melahirkan seorang ulama Aceh
lainnya yang melanjutkan keilmuan dan keulamaan Abu Cot Kuta yaitu Teungku
Muhammad Amin Daud yang dikenal dengan Ayah Min Cot Trueng Pimpinan Raudhatul
Ma’arif Cot Trueng. Pada tahun 1934 di daerah Krueng Manee, Ampon Lutan dan
Ampon Ubit yang merupakan Ulee Balang di Krueng Manee sedang mencari seorang
ulama untuk dijadikan sebagai Qadhi kawasan Krueng Manee.
Awalnya mereka ingin menunjuk
seorang ulama lainnya, yang juga murid Abu Idris Tanjungan yang telah membuka
lembaga pendidikan di wilayah Cot Seurani. Ada kekhawatiran pada Ampon Lutan
bahwa pemikiran ulama Cot Seurani tersebut tidak sesuai dengan masyarakat
Krueng Manee secara umum, sehingga dibuatlah semacam Mubahasah antara Teungku
Abu Bakar Cot Kuta dengan ulama yang bersangkutan. Setelah penetapan hari H,
dan panitia telah menyiapkan tempat dan semuanya, masyarakat juga telah
berhadir untuk menyaksikannya, maka yang bersangkutan tidak jadi berhadir, maka
qadhi di daerah Krueng Manee diangkatlah Teungku Abu Bakar yang kemudian
dikenal dengan Abu Cot Kuta.
Setelah ditunjuk menjadi pemimpin
agama di Krueng Manee, Abu Cot Kuta kemudian mendirikan sebuah Dayah yang
kemudian termasuk Dayah yang diperhitungkan besar pada masa itu, sebagaimana
yang ditulis dalam buku Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia karya Prof
Mahmud Yunus. Dimana Prof Mahmud Yunus menulis beberapa dayah di Aceh yang
mula-mula berdiri selain Dayah Abu Hasan Kruengkalee juga dayah lainnya
termasuk dayah Abu Cot Kuta. Walaupun pada tahun-tahun tersebut telah ada dayah
lainnya misalnya Abu Syech Mud di Blangpidie yang dibangun tahun 1928 dan Abu
Ali Lampisang di tahun 1924 dengan Jam’iyatul Khairiyahnya, dan banyak dayah
lainnya.
Perkembangan Dayah Abu Cot Kuta
terus meningkat dari-hari ke hari. Tapi dua belas tahun setelahnya terjadi
Perang Cumbok, sehingga banyak para ulee balang yang meninggal dalam perang
tersebut, termasuk Ampon Lutan dan Ampon Ubit yang merupakan Ulee Balang Krueng
Manee. Karena semenjak berdirinya dayah tersebut pendanaannya banyak di bantu
oleh kedua ulee balang tersebut. Mengingat kondisi yang makin melemah dan
hilangnya orang yang selama ini menopang dayah, maka Abu Cot Kuta berinisiatif
untuk pulang ke kampung aslinya di Cot Kuta, namun sebelum niat tersebut
terlaksana, salah seorang ulama dan Pimpinan Dayah Nasrul Muta’alimin meminta
masyarakat setempat untuk menempatkan Abu Cot Kuta di Cot Trueng agar mengayomi
masyarakat Cot Trueng.
Maka berpindahlah Abu Cot Kuta ke
tempat yang baru di Cot Trueng, sehingga mulailah proses belajar-mengajar dan
mulai pula berdatangan santri ke tempat tersebut yang dinamakan Dayah Raudhatul
Ma’arif. Banyak para santrinya kemudian yang menjadi para ulama seperti di
Dayah Krueng Manee dahulunya. Sebut saja beberapa di antara murid Abu Cot Kuta
adalah: Abu Sulaiman Lhoksukon, Abi Syafi’i Aron dan Teungku Muhammad Isa
Peurepok yang ketiganya adalah ulama Kharismatik Aceh, serta para santri
lainnya. Selain sebagai ulama dan pimpinan dayah Raudhatul Ma’arif, Abu Cot
Kuta juga aktif termasuk tokoh Perti di wilayahnya, terhitung mulai tahun 1957
Abu Cot Kuta bergabung dengan Perti semenjak diserukan oleh Abu Kruengkalee
agar para ulama dayah hendaknya bergabung dengan organisasi Ahlussunnah
Waljama’ah tersebut.
Setelah pengabdian yang panjang
untuk masyarakatnya, di tahun 1969 wafatlah Abu Cot Kuta. Dan Dayah Raudhatul
Ma’arif yang dibangunnya dahulu telah berkembang begitu pesat dimana santrinya
mencapai dua ribuan dari seluruh Aceh. Dayah yang besar ini dipimpin oleh
seorang ulama Aceh yang dikenal dengan Ayah Min di Cot Trueng atau Abu Cot
Trueng Teungku Muhammada Amin Daud yang merupakan salah satu cucu dari Abu Cot
Kuta.
Komentar
Posting Komentar