Abu Ujong Rimba; Ketua MUI Aceh Pertama dan Pemurni Ajaran Tasauf.
Beliau adalah ulama yang paling lama
menjadi ketua MUI Aceh. MUI atau MPU Aceh adalah sebuah lembaga terhormat dan
berpengaruh mengawal pemahaman keagamaan di Aceh. Teungku Haji Abdullah Ujong
Rimba lahir di Desa Ujong Rimba Pidie sekitar tahun 1900. Beliau juga anak
Teungku Haji Hasyim yang merupakan salah satu Qadhi Ulee Balang Peusangan.
Memulai perjalanan keilmuannya Teungku Abdullah Ujong Rimba belajar langsung
kepada ayahnya yang juga seorang Teungku dan tokoh masyarakat sambil bersekolah
dasar atau sekolah Volkschool yang masyhur pada zaman Belanda.
Selanjutnya atas keinginannya sendiri
beliau mulai belajar di Dayah Ie Leubeue yang dipimpin oleh Teungku Ali,
seorang ulama dan pimpinan dayah di Meunasah Blang, Pidie. Kata Ie Leubeue
mengingatkan kita pada seorang ulama besar Aceh yang hijrah ke Yan Keudah Malaysia
yang merupakan guru dari banyak ulama Aceh termasuk Abu Kruengkalee ialah
Teungku Chik Muhammad Arsyad Di Yan yang dikenal dengan Teungku Chik Di Yan
yang juga teman dari Teungku Chik Oemar Diyan ayahnya Abu Indrapuri dan Abu Lam
U.
Setelah lima tahun Teungku Abdullah
Ujong Rimba belajar di Dayah Ie Leubeue dan beliau menguasai ilmu-ilmu
keislaman dengan baik, kemudian beliau berangkat ke Lamsie Aceh Besar untuk
belajar di sebuah dayah yang dipimpin oleh Teuku Panglima Polem Muhammad
Daudsyah. Di dayah ini Teungku Abdullah Ujong Rimba mempelajari hampir seluruh
cabang keilmuan Islam seperti tafsir, hadits, fiqih, dan ilmu alat seperti
nahwu dan sharaf. Sekitar tiga tahun beliau berada di dayah ini, kemudian
beliau melanjutkan ke Siem di Dayah yang dipimpin oleh Abu Kruengkalee. Di
Dayah Abu Kruengkalee telah nampak keulamaan Teungku Ujong Rimba, sehingga
beliau kemudian melanjutkan belajarnya ke Kota Mekkah yang merupakan pusat keilmuan
dunia Islam pada masa itu.
Pada era tiga puluhan dan empat puluhan,
di kota Mekkah masih banyak para ulama dan ilmuan Islam berpengaruh seperti:
Syekh Habibullah Syinqiti, Syekh Muhammad Arabi Tabani, Syekh Hamdan
al-Mahrusi, Syekh Muhammad Hasan Masyat, Syekh Yahya Aman, Syekh Rahmatullah
Hindi dan banyak ulama lainnya. Ketika tiba di Mekkah, sudah ada ulama Aceh
yang lebih dahulu dari beliau, berasal dari Tanjungan Samalanga anak dari Abu
Idris Tanjungan gurunya Abu Cot Kuta yaitu Teungku Haji Abdul Hamid atau Ayah
Hamid yang mengamankan diri ke Mekkah karena akan ditangkap Belanda, disebabkan
keaktifan Ayah Hamid dalam organisasi pergerakan yang dinilai berbahaya oleh
Belanda.
Teungku Abdullah Ujong Rimba hanya dua
tahun menetap di Mekkah, karena pada dasarnya beliau sudah menjadi seorang
ulama yang mendalam ilmunya. Di Mekkah beliaupun banyak belajar dan bertukar
pikiran dengan Teungku Abdul Hamid Tanjungan terutama mengenai pembaharuan
pendidikan dan keadaan pergerakan untuk kemerdekaan. Tidak lama kemudian,
pulanglah Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba ke Aceh, dan mulailah berkiprah
sebagai seorang ulama dan tokoh yang mengayomi masyarakat. Beliau dan Teungku
Muhammad Daud Bereueh membangun sebuah lembaga pendidikan yang dinamakan dengan
Sa’adah Abadiyah.
Pesantren dengan pola pembaharuan baik
dari materi pembahasan maupun pola mengajarnya yang berbeda, bahkan banyak para
pengajarnya yang berasal dari luar Aceh seperti berasal dari Padang Sumatera
Barat. Sebagai seorang yang berteman dengan Teungku Muhammad Daud Bereueh,
beliau pernah juga terlibat dalam DII TII selama dua tahun, yang kemudian
beliau memutuskan keluar dan tidak mengikuti gerakan tersebut setelah
mempertimbangkan banyak hal. Apalagi ulama seperti Abu Kruengkale, Abuya Muda
Waly, Abu Cot Kuta dan ulama lainnya tidak sependapat dengan gerakan tersebut.
Sebagai seorang ulama dan pengayom
masyarakat, Abu Abdullah Ujong Rimba menduduki banyak jabatan penting di Aceh,
beliau pernah menjadi anggota DPA pusat, DPR Aceh sekali dengan Abuya
Muhibbuddin Waly, dan pernah pula menjadi kepala mahkamah keagamaan pada masa
Jepang. Sedangkan paling lama berkiprah Abu Ujong Rimba ialah di MUI Aceh atau
sekarang dikenal dengan MPU Aceh.
Terhitung mulai tahun 1965 sampai
menjelang beberapa bulan sebelum wafatnya beliau di tahun 1982, Abu Ujong Rimba
masih dipercaya untuk mengayomi masyarakat dengan fatwa-fatwa keagamaan yang
bertanggungjawab dan beliau merupakan Ketua MUI/MPU Aceh pertama. Setelah
beliau, yang menjadi Ketua MUI Aceh adalah Prof Haji Ali Hasjmi yang juga
pernah menjadi Rektor IAIN Arraniry, lulusan Sumatra Thawalib Padang Panjang
murid dari Syekh Angku Mudo Abdul Hamid Hakim pengarang Kitab Mabadi Awaliyah,
murid dari Syekh Haji Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamka sang pengarang
terkenal.
Abu Ujong Rimba juga seorang penulis
yang telah menghasilkan beberapa karyanya dalam bidang Tasauf dan pemurniannya.
Teungku Abdullah Ujong Rimba yang telah menulis beberapa buku untuk memurnikan
ajaran tasawuf dari pemahaman tasawuf yang melenceng seperti 'salek buta'.
Menurut beliau ada titik persamaan antara tasawuf yang berkembang pada abad 20
dengan tasawuf yang berkembang pada abad 16-17. Sebagaimana telah diketahui
bahwa pada era Teungku Abdullah Ujong Rimba muncul beberapa aliran tasawuf yang
menurutnya telah menyimpang dari aliran tasawuf sebenarnya.
Munculnya aliran salik buta yang
dipelopori oleh Tgk. Ibrahim Julok Idi Cut Aceh Timur, Tgk. Peunadok dan Tgk.
Teureubue ‘Id di Teupin Raya Pidie. Ajaran yang dikembangkan oleh tiga tokoh
tersebut diasumsikan sebagai ajaran yang dibentuk dan diturunkan dari paham
wahdat al-wujud, sehingga disebut dengan ajaran salik buta. Oleh karena itu,
paham tersebut mendapat kritikan dari beliau. Di antara buku-buku pemurnian
Tasauf dan Tarekat yang disusun Teungku Abdullah Ujong Rimba adalah; Pedoman
Penolak Salik Buta, Ilmu Tarekat dan Hakikat, Hakikat Islam.
Konsep tasawuf Tgk. Ujong Rimba tidak
jauh berbeda dari tasawuf Imam al-Ghazali dan Imam al-Qusyairi yang lebih
mengarah ke tasawuf akhlaki dan sunni. Beliau juga membagi tarekat ke dalam
tiga kelompok; Nabawiyah, Salafiyah, Sufiyah. Dua yang pertama sesuai syariat
sedangkan tarekat Sufiyah menurutnya sesat menyesatkan. Dalam penilaian ini
beliau condong mengikut pendapat Syekh Nuruddin al-Raniry. Teungku Abdullah
Ujong Rimba mengkritik ajaran tasawuf, terutama kritik terhadap kaum wujudiyah
dan 'salek buta' yang berkembang pada abad 16-17 dan pada abad 20.
Ajaran wahdat wujud ini berasal dari
pemikiran tasawuf falsafi. Sedangkan pemikiran tasawuf pada abad ke-20 yang
disebut dengan salik buta dianalisa memiliki kemiripan dengan ajaran wujudiyah
yang terdapat pada abad 16-17. Teungku Abdullah Ujong Rimba mengkritik secara
tajam pemahaman salek buta baik itu dari asal-muasal ajaran salek buta, kritik
terhadap amalan salek buta, simbolisme huruf, syair-syair dan pemakaiannya,
kritik terhadap martabat tujuh, kritik terakhir menyangkut hubungan syariat
dengan tasauf.
Umumnya kalangan salek buta sangat tidak
memperhatikan rambu-rambu syari’at karena dalam persepsi mereka hakikat adalah
segala-galanya. Sedangkan Teungku Abdullah Ujong Rimba menjelaskan bahwa
syariat tidak bisa dipisahkan dari hakikat, dan makrifat. Jadi tasauf tidak
dianggap benar apabila ia terlepas dari aturan syariat yang benar. Beliau
sangat keras mengkritik kaum salek buta bahkan menganggap mereka sesat. Dengan
kiprahnya yang begitu luas ia dapat dimasukkan dalam golongan ulama pemurni
tauhid dan tasawuf, dan seorang pendidik pada masanya.
Implikasi dari usaha tersebut ditemukan
bahwa di daerahnya (baca: Pidie) salek buta telah mengalami penurunan jumlahnya
secara drastis. Sedangkan beberapa daerah lainnya tidak begitu mendapat
apresiasi dan pengaruh yang besar, bahkan tarekat Naqsyabandiyah setelah
dianalisa tidak dapat digolongkan dalam aliran sesat menyesatkan. Demikianlah
sekilas cuplikan pemikiran Abu Ujong Rimba. Setelah kontribusi yang besar
terhadap masyarakat Aceh secara umum, maka wafatlah beliau di tahun 1982. Dan
sebagai penghargaan atas jasanya untuk MPU Aceh, maka aula pertemuan ulama di
MPU Aceh dinamakan dengan Aula Abu Ujong Rimba.
Komentar
Posting Komentar