Teungku Haji Abdussalam Meuraxa; Ulama dan Ilmuan Banda Aceh Berpengaruh.
Beliau merupakan salah
satu ulama Aceh yang dikenal sebagai ulama, pengusaha, penulis kitab, dan
seorang kristolog handal pada masanya. Teungku Haji Abdussalam lahir di Kota
Banda Aceh, tepatnya di Kampung Meuraxa pada tahun 1899. Bila melihat tanggal
lahirnya, Teungku Haji Abdussalam Meuraxa sebaya dengan ulama Aceh lainnya
yaitu Abu Syech Mud Blangpidie yang lahir pada tahun yang sama 1899. Abu Syech
Mud sendiri berasal dari daerah Lhoknga Aceh Besar dan kemudian berkiprah di
Blangpidie sepulang belajar dari Yan Keudah Malaysia.
Mengawali masa
belajarnya, Teungku Abdussalam Meuraxa belajar langsung kepada orang tuanya
ilmu-ilmu dasar dalam keislaman. Namun karena kecintaannya kepada ilmu, telah
mengantarkan beliau mengembara dalam menuntut ilmu di beberapa lembaga
pendidikan sehingga telah mengantarkan beliau menjadi seorang ilmuan yang
mendalam ilmunya. Beliau merupakan murid dari dua ulama besar Aceh yaitu
Teungku Chik Lambirah yang merupakan pimpinan dayah di Lambirah dengan nama
aslinya Teungku Haji Muhammad Abbas Lambirah dan belajar juga kepada Teungku
Chik Lamjabat dengan dayahnya Jeurela, nama asli beliau Teungku Haji Muhammad
Jakfar Lamjabat salah seorang ulama yang menandatangani maklumat ulama Aceh
untuk mempertahankan kemerdekaan bersama beberapa ulama lainnya seperti Teungku
Haji Hasan Kruengkalee, Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku
Muhammad Daud Bereueh dan Residen Aceh Teuku Nyak Arif.
Semenjak kecil Teungku
Abdurrahman Meuraxa dikenal sebagai seorang yang cerdas, teliti dan
bersungguh-sungguh. Beliau juga sangat mencintai ilmu pengetahuan dan
berwawasan luas. Berbagai tulisan dari dalam dan luar negeri yang berasal dari
majalah-majalah dibacanya termasuk majalah yang berasal dari Kairo Mesir.
Karena kecerdasan dan terangnya hati Teungku Abdussalam Meuraxa, beliau diambil
menantu oleh gurunya Teungku Chik Muhammad Jakfar Lamjabat.
Setelah menjadi
seorang yang alim dan ilmuan, tidak pernah menghentikan langkah beliau untuk
terus belajar. Teungku Haji Abdussalam Meuraxa juga pernah belajar dan menimba
ilmu pengetahuan kepada seorang ulama dan bangsawan Aceh yang bernama Tuwanku
Raja Keumala di daerah Peulanggahan Kuta Raja Banda Aceh. Tuwanku Raja Keumala
adalah ulama yang lebih tua dari ulama lainnya yang segenarasi dengannya.
Tuwanku Raja Keumala lahir
pada tahun 1877 di daerah Keumala Pidie, beliau belajar agama pada para ulama
dan Teungku Chik seperti Syekh Dorab dari Arab dan paling lama belajar kepada
Teungku Pantee Geulima dalam keadaan perang Aceh yang masih berkecamuk. Setelah
menjadi seorang ulama, Tuwanku Raja Keumala kemudian berangkat ke Mekkah dan
belajar di Mekkah beberapa tahu sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang
Teungku Chik. Walaupun beliau telah menjadi seorang Syekh atau Teungku Chik,
namun karena berasal dari keturunan bangsawan, beliau tetap dipanggil dengan
Tuwanku. Sebuah panggilan yang tidak boleh sembarang digunakan kecuali bagi
mereka yang berasal dari keturunan raja atau bangsawan Aceh.
Teungku Haji
Abdurrahman Meuraxa belajar banyak hal dari Tuwanku Raja Keumala, mulai dari
ilmu, pengalaman dan berbagai hal sehingga mengantarkan Teungku Abdussalam
Meuraxa muda menjadi seorang yang luas cakrawala berpikirnya. Bahkan bakat
menulisnya mulai tumbuh semenjak beliau berinteraksi dengan Tuwanku Raja Keumala
yang juga dikenal sebagai seorang ulama sastrawan yang banyak menyadur karya
para ulama Mekkah ke dalam syair-syair Aceh seperti karya dari Syekh Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan Mufti Syafi’i di Mekkah, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh
Ahmad Marzuki dan Habib Salim al-Hadhrami Yaman.
Teungku Abdussalam
Meuraxa dikenal sebagai seorang ulama penulis seperti gurunya Tuwanku Raja
Keumala. Di antara karya tulis dalam bentuk buku yang dikarang oleh Teungku
Haji Abdussalam Meuraxa adalah Kitab Terjemahan dalam dari Alfiyah Imam Ibnu
Malik dengan judul Tashilussalik ila Alfiyah Ibnu Malik yang dicetak ditahun
1926 di Mesir, dimana Teungku Abdurrahman Meuraxa dalam usianya 27 tahun telah
berhasil menulis sebuah karya besar dan dicetak di Kairo Mesir.
Selain menerjemah
Kitab Alfiyah, beliau juga pernah menerjemah kitab penting dalam Mazhab Syafi’i
yaitu Kitab Minhaj Thalibin karya Imam Nawawi, mujtahid yang dikenal sebagai
ulama besar dan mujtahid tarjih dalam Mazhab Syafi’i. Kitab Minhaj Thalibin
merupakan kitab tertinggi yang telah diteliti secara mendalam oleh Imam Nawawi
bahkan merupakan rujukan utama dalam Mazhab Syafi’i, sehingga para ulama yang
datang sesudah Imam Nawawi banyak yang mengulas kitab Minhaj Thalibin seperti
Syekh Ibnu Hajar dengan Tuhfatul Muhtaj, Syekh Syihabuddin Ramli di Nihayatul
Muhtaj, Syekh Khatib Syarbini dengan Mughni Muhtaj dan banyak karya lainnya.
Teungku Abdusssalam
Meuraxa menyelesaikan terjemahan Kitab Minhajut Thalibin menjelang akhir
usianya di tahun 1953 karena ditahun 1955 beliau wafat. Kitab Minhaj
diterjemahkan dalam beberapa jilid. Selain kitab Arab, beliau juga menulis
beberapa buku untuk menolak pemahaman keliru dari kaum misionaris. Bahkan
disebutkan beliau pernah berdebat secara ilmiyah dengan seorang misionaris yang
datang secara khusus untuk berdebat dengannya di tahun 1930. Perdebatan
tersebut beliau bukukan sehingga bisa dibaca dan menjadi bahan kajian untuk
generasi selanjutnya. Semua buku yang dikarang oleh Teungku Abdussalam Meuraxa
masih tersimpan dengan baik di rumah anaknya yang umumnya mereka tinggal di
Jakarta, karena anak beliau umumnya menjadi dokter ahli yang bergerak dalam
bidang kesehatan.
Selain sebagai seorang
ulama, beliau juga dikenal dalam masyarakat Aceh sebagai seorang saudagar atau
pengusaha yang banyak mengimpor kitab-kitab dari Mesir dan kain serta pakaian
dari Jawa. Khusus untuk kitab Arab, beliau kemudian membangun sebuah Toko Kitab
Atjeh Kubra yang tempatnya di Pasar Aceh. Di toko tersebut banyak dijual
karya-karya para ulama Mesir berhaluan pembaharuan seperti karya Syekh Muhammad
Abduh, Sayyid Rasyid Ridha dan para ulama lainnya. Walaupun beliau ditempa di
berbagai lembaga keagamaan tradisional, namun tetaplah beliau seorang yang
moderat dengan berbagai pemahaman yang ada.
Teungku Abdurrahman
Meuraxa juga dikenal sebagai seorang ulama yang konsisten dalam memberi nasehat
kepada siapapun, bahkan ketika salah seorang ulama dan ilmuan Aceh Teungku
Muhammad Hasbi Siddiqie berangkat ke Banda Aceh berpindah dari Lhokseumawe,
beliaulah yang menampung Teungku Muhammad Hasbi Siddiqie dan banyak memberi
nasehat yang berharga untuknya, karena di tahun 1951 Teungku Muhammad Hasbi
Siddiqie berangkat dan kemudian tinggal di Yogyakarta sampai beliau menjadi
guru besar di Universitas Sunan Kalijaga.
Berbagai pengabdian
dalam masyarakat, telah mengantarkan Teungku Abdurrahman Meuraxa sebagai
seorang tokoh yang disegani dan dihormati secara luas. Beliau juga mampu
berdiri dalam posisi netralnya sebagai seorang ilmuan yang mengayomi berbagai
pihak dan golongan. Beliau juga disebutkan sebagai penasehat para ulama yang
berkantor di Mesjid Raya Baiturrahman hingga akhir hayatnya. Setelah pengabdian
dan kotribusi yang besar untuk masyarakat Aceh, di tahun 1955 wafatlah ulama
besar ini di Balang Oi Meuraxa Banda Aceh.
Komentar
Posting Komentar