Teungku Syekh Ibrahim Lamnga; Ulama dan Guru Besar JADAM Montasik.
Beliau adalah anak
dari ulama Lamnga Montasik yang bernama Teungku Yunus dikenal dengan sebutan
Teungku Chik di Lamnga, karena mendirikan lembaga pendidikan di Lamnga
Montasik. Nama kecilnya Teungku Ibrahim bin Teungku Yunus, namun setelah
menjadi ulama dan tokoh berpengaruh, masyarakat mengenal beliau dengan
panggilan Teungku Syekh Ibrahim "Ayahanda". Menurut keterangan Prof
Ali Hasjmi, Teungku Syekh Ibrahim Ayahanda merupakan ulama yang lahir
mendahului zamannya, disebabkan kontribusi beliau yang besar dalam perjuangan
dan pendidikan di Aceh.
Teungku Syekh Ibrahim
Lamnga lahir pada tahun 1895, beliau hampir sebaya dengan Abu Lampisang yang
lahir tahun 1894, Abu Cot Kuta lahir 1896, Teungku Abdul Wahab Kenaloi lahir
1898, Teungku Abdussalam Meuraksa lahir 1899, Abu Syech Mud lahir 1899 dan para
ulama lainnya yang segenerasi dengan Teungku Syekh Ibrahim Lamnga. Semenjak kecil Teungku Syekh Ibrahim Lamnga telah dikenal dengan kecerdasan dan
kesungguhan dalam menuntut ilmu. Beliau belajar langsung kepada ayahnya Teungku
Yunus yang juga ulama dan pimpinan dayah Lamnga.
Setelah menguasai
berbagai cabang keilmuan secara mendalam, Teungku Syekh Ibrahim Lamnga kemudian
melanjutkan pengajiannya kepada ulama lulusan Mekkah yaitu Teungku Syekh
Muhammad Abbas Lambirah yang dikenal dengan Teungku Chik Lambirah abang dari
Teungku Syekh Muhammad Jakfar Lamjabat. Kepada Teungku Chik Lambirah, beliau
memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan sehingga telah mengantarkan beliau
menjadi seorang Syekh. Teungku Chik Lambirah juga ulama yang pernah belajar ke
berbagai dayah sebelum mematangkan karier keilmuannya di Mekkah.
Teungku Chik Lambirah
adalah anak dari Teungku Chik Muhammad Lambirah, pendiri Dayah Lambirah yang
banyak disinggahi oleh para penuntut ilmu pada masa yang lalu. Setelah matang keilmuannya, Teungku Syekh Ibrahim Lamnga kemudian ditunjuk
sebagai pimpinan Dayah Lamnga setelah wafat ayah beliau Teungku Chik Yunus
Lamnga. Teungku Syekh Ibrahim Lamnga adalah ulama yang memiliki ide-ide yang melampaui
zamannya, disebutkan pada tahun duapuluhan beliau telah menginisiasi
pembangunan Dayah secara permanen dua lantai seperti masa sekarang, walaupun
bangunan tersebut tidak bertahan lama ketika itu.
Selain itu beliau juga
memasukkan berbagai terobosan ke dayahnya dengan berbagai keahlian bagi para
santrinya, sehingga hal-hal yang dilakukan beliau dianggap asing pada masanya.
Padahal ditahun tujuhpuluhan, apa yang beliau gagas, sama dengan pandangan Prof
Mukti Ali, mantan Menteri Agama Indonesia. Pada tahun tiga puluhan, Teungku
Syekh Ibrahim Lamnga berangkat haji dengan para rombongan yang beliau bawa,
bedanya beliau dengan kesepakatan bersama membeli mobil khusus untuk kemudahan
para jama'ah haji yang melaksanakan ibadah haji dan berziarah ke tempat tempat
khusus yang mustajab doa.
Di akhir tahun 1930,
beliau menyewa bus khusus untuk membawa para pelajar Aceh yang berpotensi ke
Padang Sumatera Barat untuk belajar di Sumatera Thawalib, Normal Islam dan sekolah-sekolah
Islam yang menjamur di Padang ketika itu. Beliau juga tokoh yang merintis
organisasi JADAM yaitu sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan
dengan Singkatan dari Jam'iyyah Diniyah Al Montasikiyah, yang mengkoordinir
seluruh lembaga pendidikan di seputaran Montasik.
Beliau dengan
kiprahnya yang sangat maju tersebut dianggap berbahaya oleh Belanda, sehingga
sepulangnya beliau dari Jawa untuk menjemput Teuku Muhammad Ali Panglima Polem
Daud Syah bertambah semangatnya untuk kemerdekaan. Sehingga hampir ditiap
ceramah dan pengajiannya beliau menggelorakan semangat merdeka. Demi melihat
gelagat yang berbahaya, maka Belanda ingin menangkap Syekh Ibrahim Lamnga.
Sebelum ditangkap, beliau kemudian hijrah ke Singapura untuk mencari iklim kebebasan.
Cerita
lari dan menyamar beliau hampir sama dengan kisah Teungku Abdul Hamid Samalanga
atau Ayah Hamid anak dari Teungku Haji Idris Tanjungan, Ayah Hamid hijrah ke
Mekkah karena ingin ditangkap Belanda karena keterlibatan dalam Serikat Islam,
sebuah organisasi yang dianggap berbahaya oleh Belanda.Sesampai di Singapura,
Teungku Syekh Ibrahim Lamnga disambut baik oleh orang-orang Melayu di sana.
Sehingga beliau membuat sebuah Madrasah Lil Banat dan menerbitkan Majalah Donya
Akhirat. Menjelang mendaratnya Jepang, dalam keadaan Belanda yang tidak
menentu, pulanglah Teungku Syekh Ibrahim Lamnga dengan selamat. Pada masa
Penjajahan Jepang, beliau lebih menfokuskan mengajarkan para santri-santrinya. Dan
setelah perjalanan yang panjang dengan segenap pengabdian, wafatlah ulama hebat ini di tahun 1946.
Komentar
Posting Komentar